Budaya Suku Kanekes
1. Pengertian Suku Kanekes
Orang Kanekes atau orang Baduy/Badui adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Populasi mereka sekitar 5.000 hingga 8.000 orang, dan mereka merupakan salah satu suku yang menerapkan isolasi dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk difoto.
Konon pada sekitar abad ke XI dan XII Kerajaan Pajajaran menguasai seluruh tanah Pasundan yakni dari Banten, Bogor, priangan samapai ke wilayah Cirebon, pada waktu itu yang menjadi Rajanya adalah PRABU BRAMAIYA MAISATANDRAMAN dengan gelar PRABU SILIWANGI.
Kemudian pada sekitar abad ke XV dengan masuknya ajaran Agama Islam yang dikembangkan oleh saudagar-saudagar Gujarat dari Saudi Arabia dan Wali Songo dalam hal ini adalah SUNAN GUNUNG JATI dari Cirebon, dari mulai Pantai Utara sampai ke selatan daerah Banten, sehingga kekuasaan Raja semakin terjepit dan rapuh dikarenakan rakyatnya banyak yang memasuki agama Islam. Akhirnya raja beserta senopati dan para ponggawa yang masih setia meninggalkan keraan masuk hutan belantara kearah selatan dan mengikuti Hulu sungai, mereka meninggalkan tempat asalnya dengan tekad seperti yang diucapkan pada pantun upacara Suku Baduy
“ Jauh teu puguh nu dijugjug, leumpang teu puguhnu diteang , malipir dina gawir, nyalindung dina gunung, mending keneh lara jeung wiring tibatan kudu ngayonan perang jeung paduduluran nu saturunan atawa jeung baraya nu masih keneh sa wangatua”
Artinya : jauh tidak menentu yang tuju ( Jugjug ),berjalan tanpa ada tujuan, berjalan ditepi tebing, berlindung dibalik gunung, lebih baik malu dan hina dari pada harus berperang dengan sanak saudara ataupun keluarga yang masih satu turunan “
Keturunan ini yang sekarang bertempat tinggal di kampong Cibeo ( Baduy Dalam ) dengan cirri-ciri : berbaju putih hasil jaitan tangan ( baju sangsang ), ikat kepala putih, memakai sarung biru tua ( tenunan sendiri ) sampai di atas lutut, dan sipat penampilannya jarang bicara ( seperlunya ) tapir amah, kuat terhadap Hukum adat, tidak mudah terpengaruh, berpendirian kuat tapi bijaksana.
Sebutan “Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).
Orang Kanekes masih memiliki hubungan sejarah dengan orang Sunda. Penampilan fisik dan bahasa mereka mirip dengan orang-orang Sunda pada umumnya. Satu-satunya perbedaan adalah kepercayaan dan cara hidup mereka. Orang Kanekes menutup diri dari pengaruh dunia luar dan secara ketat menjaga cara hidup mereka yang tradisional, sedangkan orang Sunda lebih terbuka kepada pengaruh asing dan mayoritas memeluk Islam.
Masyarakat Kanekes secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001).
Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Kanekes Dalam (Baduy Dalam), yang paling ketat mengikuti adat, yaitu warga yang tinggal di tiga kampung: Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik.
Ciri khas Orang Kanekes Dalam adalah pakaiannya berwarna putih alami dan biru tua serta memakai ikat kepala putih. Mereka dilarang secara adat untuk bertemu dengan orang asing (non WNI)
Kanekes Dalam adalah bagian dari keseluruhan orang Kanekes. Tidak seperti Kanekes Luar, warga Kanekes Dalam masih memegang teguh adat-istiadat nenek moyang mereka.
Sebagian peraturan yang dianut oleh suku Kanekes Dalam antara lain:
1. Tidak diperkenankan menggunakan kendaraan untuk sarana transportasi
2. Tidak diperkenankan menggunakan alas kaki
3. Pintu rumah harus menghadap ke utara/selatan (kecuali rumah sang Pu’un atau ketua adat)
4. Larangan menggunakan alat elektronik (teknologi)
5. Menggunakan kain berwarna hitam/putih sebagai pakaian yang ditenun dan dijahit sendiri serta tidak diperbolehkan menggunakan pakaian modern.
Kelompok masyarakat kedua yang disebut panamping adalah mereka yang dikenal sebagai Kanekes Luar (Baduy Luar), yang tinggal di berbagai kampung yang tersebar mengelilingi wilayah Kanekes Dalam, seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Masyarakat Kanekes Luar berciri khas mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam.
Kanekes Luar merupakan orang-orang yang telah keluar dari adat dan wilayah Kanekes Dalam. Ada beberapa hal yang menyebabkan dikeluarkannya warga Kanekes Dalam ke Kanekes Luar:
1. Mereka telah melanggar adat masyarakat Kanekes Dalam.
2. Berkeinginan untuk keluar dari Kanekes Dalam
3. Menikah dengan anggota Kanekes Luar
Apabila Kanekes Dalam dan Kanekes Luar tinggal di wilayah Kanekes, maka “Kanekes Dangka” tinggal di luar wilayah Kanekes, dan pada saat ini tinggal 2 kampung yang tersisa, yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam). Kampung
Dangka tersebut berfungsi sebagai semacam buffer zone atas pengaruh dari luar .
A. Tekhnologi dan Peralatan Suku Baduy
Peralatan dan Teknologi Kehidupan orang Baduy berpusat pada daur pertanian yang diolah dengan menggunakan peralatan yang masih sangat sederhana. Dalam adapt Baduy terutama Baduy Dalam, masyarakat tidak boleh menggunakan peralatan yang sudah modern. Mereka mengandalkan peralatan yang masih sangat primitive seperti bedog, kampak, cangkul, dll
B. Mata Pencaharian Hidup Suku Baduy
Mata pencarian masyarakat Baduy yang paling utama adalah bercocok tanam padi huma dan berkebun serta membuat kerajinan koja atau tas dari kulit kayu, mengolah gula aren, tenun dan sebagian kecil telah mengenal berdagang. Selain itu mereka juga mendapatkan penghasilan tambahan dari menjual buah-buahan yang mereka dapatkan di hutan seperti durian dan asam keranji, serta madu hutan.
Kehidupan orang Baduy berpenghasilan dari pertanian, dimulai pada bulan kaampat kalender Baduy yang dimulai dengan kegiatan nyacar yakni membersihkan semua belukar untuk menyiapkan ladang. Ada 4 jenis lading untuk padi gogo yaitu Huma serang, merupakan suatu lading suci bagi mereka yang berpemukiman dalam. Huma tangtu merupakan lading yang dikerjakan oleh orang Baduy Dalam yang meliputi Huma tuladan atau huma jaro. Huma penamping merupakan ladang yang dikerjakan oleh orang Baduy diluar kawasan tradisional.
C. Sistem Organisasi Sosial Suku Baduy
1. Sosial Budaya Baduy
Suku Baduy adalah bukan suku terasing melainkan suatu suku yang mengasingkan diri dengan pola kehidupannya patuh terhadap hukum adat, hidup mandiri denga tidak mengharapkan yang sifatnya bantuan dari orang lain / orang luar, menutup diri dari pengaruh budaya yang akan masuk dari luar.
Adapun cara hidup mereka baik dengan sessama warga, bergotong royong, taat terhadap adat. Seia sekata dalam pandangan, berlindung terhadap Pusaka Karuhun dan amanat Leluhurnya sekalipun tidak tersurat tetapi tersirat dalam ingatan sehingga patuh dan taat terhadap peraturan hokum adat yang dipimpin oleh Kepala Adat ( Puun ).
Menurut palsafah suku Baduy pergantian musim adalah mendatangkan dan meninggalkan untuk kesejahteraan manusia,hidup rukun saling member dan menerima dalam hal yang saling membutuhkan adalah merupakan pelengkap untuk menimbulkan rasa kedamaian karena kalau saling menciderai dan membinasakan akan mendatangkan bencana dan perpecahan.
Amanat leluhur yang menjelma jadi hokum adat mampu mengatur tatanan kehidupan untuk kesejahteraan dan tatanan yang senapas dengan lingkungannya sehingga warna hidup dan kehidupannya mempunyai keseragaman kata dan perbuatannya.
2. Hukum di didalam Masyarakat Baduy
Hukuman disesuaikan dengan kategori pelanggaran, yang terdiri atas pelanggaran berat dan pelanggaran ringan. Hukuman ringan biasanya dalam bentuk pemanggilan sipelanggar aturan oleh Pu’un untuk diberikan peringatan. Yang termasuk ke dalam jenis pelanggaran ringan antara lain cekcok atau beradu-mulut antara dua atau lebih warga Baduy.
Hukuman Berat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan pelanggaran berat. Pelaku pelanggaran yang mendapatkan hukuman ini dipanggil oleh Jaro setempat dan diberi peringatan.
Menariknya, yang namanya hukuman berat disini adalah jika ada seseorang warga yang sampai mengeluarkan darah setetes pun sudah dianggap berat. Berzinah dan berpakaian ala orang kota.Banyak larangan yang diatur dalam hukum adat Baduy, di antaranya tidak boleh bersekolah, dilarang memelihara ternak berkaki empat, tak dibenarkan bepergian dengan naik kendaraan, dilarang memanfaatkan alat eletronik, alat rumah tangga mewah dan beristri lebih dari satu.
Di dalam proses pernikahan pasangan yang akan menikah selalu dijodohkan dan tidak ada yang namanya pacaran. Orang tua laki-laki akan bersilaturahmi kepada orang tua perempuan dan memperkenalkan kedua anak mereka masing-masing.
Setelah mendapatkan kesepakatan, kemudian dilanjutkan dengan proses 3 kali lamaran.
Tahap Pertama, orang tua laki-laki harus melapor ke Jaro (Kepala Kampung) dengan membawa daun sirih, buah pinang dan gambir secukupnya.
Tahap kedua, selain membawa sirih, pinang, dan gambir, pelamaran kali ini dilengkapi dengan cincin yang terbuat dari baja putih sebagai mas kawinnya.
Tahap ketiga, mempersiapkan alat-alat kebutuhan rumah tangga, baju serta seserahan pernikahan untuk pihak perempuan. Uniknya, dalam ketentuan adat, Orang Baduy tidak mengenal poligami dan perceraian. Mereka hanya diperbolehkan untuk menikah kembali jika salah satu dari mereka telah meninggal.
3. Pemerintahan
Masyarakat Kanekes mengenal dua sistem pemerintahan, yaitu sistem nasional, yang mengikuti aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan sistem adat yang mengikuti adat istiadat yang dipercaya masyarakat. Kedua sistem tersebut digabung atau diakulturasikan sedemikian rupa sehingga tidak terjadi perbenturan. Secara nasional penduduk Kanekes dipimpin oleh kepala desa yang disebut sebagai jaro pamarentah, yang ada di bawah camat, sedangkan secara adat tunduk pada pimpinan adat Kanekes yang tertinggi, yaitu "puun". Struktur pemerintahan secara adat Kanekes adalah sebagaimana tertera pada Gambar 1. Pemimpin adat tertinggi dalam masyarakat Kanekes adalah "puun" yang ada di tiga kampung tangtu. Jabatan tersebut berlangsung turun-temurun, namun tidak otomatis dari bapak ke anak, melainkan dapat juga kerabat lainnya. Jangka waktu jabatan puun tidak ditentukan, hanya berdasarkan pada kemampuan seseorang memegang jabatan tersebut.
Pelaksana sehari-hari pemerintahan adat kapuunan (kepuunan) dilaksanakan oleh jaro, yang dibagi ke dalam empat jabatan, yaitu jaro tangtu, jaro dangka, jaro tanggungan, dan jaro pamarentah.
Jaro tangtu bertanggung jawab pada pelaksanaan hukum adat pada warga tangtu dan berbagai macam urusan lainnya.
Jaro dangka bertugas menjaga, mengurus, dan memelihara tanah titipan leluhur yang ada di dalam dan di luar Kanekes.
Jaro dangka berjumlah 9 orang, yang apabila ditambah dengan 3 orang jaro tangtu disebut sebagai jaro duabelas. Pimpinan dari jaro duabelas ini disebut sebagai jaro tanggungan.
Adapun jaro pamarentah secara adat bertugas sebagai penghubung antara masyarakat adat Kanekes dengan pemerintah nasional, yang dalam tugasnya dibantu oleh pangiwa, carik, dan kokolot lembur atau tetua kampung
D. Pengetahuan Suku Baduy
Sistem pengetahuan orang Baduy adalah Pikukuh yaitu memegang teguh segala perangkat peraturan yang diturunkan oleh leluhurnya. Dalam hal pengetahuan ini, orang Baduy memiliki tingkat toleransi, tata krama, jiwa social, dan teknik bertani yang diwariskan oleh leluhurnya. Dalam pendidikan modern orang Baduy masih tertinggal jauh namun mereka belajar secara otodidak. Jadi sebetulnya orang Baduy sangat informasional sekali sebetulnya, tahu banyak informasi. Hal ini ditunjang karena kegemaran sebagai orang rawayan (pengembara).
Sebagai penutup dan catatan penulis, kemungkinan bahwa budaya lama telah banyak digantikan dengan budaya baru menandakan sebetulnya budaya sangat relatif dan adaptif di lingkungan Suku Baduy, terutama Baduy luar. Namun, sebagai pelengkap yang lebih akurat dibandingkan foklore (cerita rakyat) dan narasumber lainnya, adalah peninggalan sejarah dan prasejarah yang tertinggal sebagai bukti terkuat, bahwa mereka termasuk komunitas masyarakat yang tertua di Banten.
E. Kesenian Suku Baduy
alam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang. Selain itu mereka menjual hasil kerajinan seperti Koja dan Jarog(tas yang terbuat dari kulit kayu), tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung, golok, parang dan berburu.
Dalam melaksanakan upacara tertentu, masyarakat Baduy menggunakan kesenian untuk memeriahkannya. Adapun keseniannya yaitu:
1. Seni Musik (Lagu daerah yaitu Cikarileu dan Kidung ( pantun) yang digunakan dalam acara pernikahan).
2. Alat musik (Angklung Buhun dalam acara menanan padi dan alat musik kecapi)
3. Seni Ukir Batik.
F. Bahasa Suku Baduy
Bahasa yang mereka gunakan adalah Bahasa Sunda dialek Sunda–Banten. Untuk berkomunikasi dengan penduduk luar mereka lancar menggunakan Bahasa Indonesia, walaupun mereka tidak mendapatkan pengetahuan tersebut dari sekolah. Orang Kanekes 'dalam' tidak mengenal budaya tulis, sehingga adat istiadat, kepercayaan/agama, dan cerita nenek moyang hanya tersimpan di dalam tuturan lisan saja.
Mayoritas masyarakat Baduy Sunda namun mereka tak menutup diri untuk terus mempelajari Bahasa nasional yakni bahasa Indonesia. Terbukti, tidak sedikit masyarakat Baduy yang dapat berbahasa Inbdonesia.
G. Sistem Religi (Kepercayaan) Suku Baduy
Suku Baduy yang merupakan suku tradisional di Provinsi Banten hampir mayoritasnya mengakui kepercayaan sunda wiwitan.
Yang mana kepercayaan ini meyakini akan adanya Allah sebagai “Guriang Mangtua” atau disebut pencipta alam semesta dan melaksanakan kehidupan sesuai ajaran Nabi Adam sebagai leluhur yang mewarisi kepercayaan turunan ini. Kepercayaan sunda wiwitan berorientasi pada bagaimana menjalani kehidupan yang mengandung ibadah dalam berperilaku, pola kehidupan sehari-hari,langkah dan ucapan, dengan melalui hidup yang mengagungkan kesederhanaan (tidak bermewah-mewah) seperti tidak mengunakanlistrik,tembok,mobildll.
Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy menurut kepercayaan sunda wiwitan:
1. Upacara Kawalu yaitu upacara yang dilakukan dalam rangka menyambut bulan kawalu yang dianggap suci dimana pada bulan kawalu masyarakat baduy melaksanakan ibadah puasa selama 3 bulan yaitu bulan Kasa,Karo, dan Katiga.
2. Upacara ngalaksa yaitu upacara besar yang dilakukan sebagain uacapan syukur atas terlewatinya bulan-bulan kawalu, setelah melaksanakan puasa selama 3 bulan. Ngalaksa atau yang bsering disebut lebaran.
3. Seba yaitu berkunjung ke pemerintahan daerah atau pusat yang bertujuan merapatkan tali silaturahmi antara masyarakat baduy dengan pemerintah, dan merupakan bentuk penghargaan dari masyarakat baduy.
4. Upacara menanam padi dilakukan dengan diiringi angklung buhun sebagai penghormatan kepada dewi sri lambing kemakmuran.
5. Kelahiran yang dilakukan melalui urutan kegiatan yaitu:
1. Kendit yaitu upacara 7 bulanan ibu yang sedang hamil.
2. Saat bayi itu lahir akan dibawa ke dukun atau paraji untiuk dijampi-jampi.
3. Setelah 7 hari setelah kelahiran maka akan diadakan acara perehan atau selametan.
4. Upacara Angiran yang dilakukan pada hari ke 40 setelah kelahiran.
5. Akikah yaiotu dilakukannya cukuran, khitanan dan pemberian nama oleh dukun(kokolot) yuang didapat dari bermimpi dengan mengorbankan ayam.
6. Perkawinan, dilakukan berdasarkan perjodohan dan dilakukan oleh dukun atau kokolot menurut lembaga adat (Tangkesan) sedangkan Naib sebagai penghulunya. Adapun mengenai mahar atau seserahan yakni sirih, uang semampunya, dan kain poleng.
Dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari tentunya masyarakat baduy disesuaikan dengan penanggalan:
1. Bulan Kasa
2. Bulan Kapitu
3. Bulan Karo
4. Bulan Kadalapan
5. Bulan Katilu
6. Bulan Kasalapan
7. Bulan Sapar
8. Bulan Kasapuluh
9. Bulan Kalima
10. Bulan Hapid Lemah
11. Bulan Kaanem
12. Bulan Hapid Kayu
Seperti yang telah diuraikan diatas, apabila ada masyarakat baduy yang melanggar asalah satu pantangan maka akan dikenai hukuman berupa diasingkan ke hulu atau dipenjara oleh pihak polisi yang berwajib
Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh atau ketentuan adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes (Garna, 1993). Isi terpenting dari 'pikukuh' (kepatuhan) Kanekes tersebut adalah konsep "tanpa perubahan apapun", atau perubahan sesedikit mungkin:
Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung.
(Panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar